Oleh: Drs. Surya Wijaya, M.Si *)
Proses pembangunan yang tengah dilaksanakan pemerintah di berbagai sektor bersama-sama dengan masyarakat dewasa ini tiada lain adalah bentuk-bentuk proses perubahan berencana. Di dalam proses ini dilakukan beragam upaya agar status baru yang diinginkan dapat tercapai, di mana tata kehidupan dan penghidupan masyarakat berada pada status yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Dalam pelaksanaan pembangunan, khususnya yang ditujukan untuk meningkatkan status kesehatan dan pendidikan masyarakat di mana, tidak jarang ditemukan kendala-kendala yang menunjukkan bahwa masyarakat tidak begitu mudah untuk diajak berubah dari kondisi lama kepada kondisi baru. Keadaan ini terjadi bukan tanpa sebab, melainkan terdapat faktor-faktor tertentu yang perlu dipertimbangkan, khususnya oleh para pemikir dan pelaksana program.
Resistensi Sosial
Ciri dari suatu sistem sosial yang masih tradisional adalah kuatnya ikatan antara para pelaku sosial dengan norma atau pranata budaya yang hidup dan dijunjung tinggi berdasarkan kesepakatan barsama dan terjadi secara turun-temurun.
Lingkungan sosial dan budaya demikian menumbuhkan perilaku anggota-anggota masyarakat yang tidak mudah berubah dari cara-cara berkehidupan masa sekarang dan masa lampau kearah status baru (yang menurut kita) lebih baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat memiliki semacam keengganan untuk berubah, yaitu resistensi sosial, antara lain karena :
(1) Mereka terikat kepada system nilai (value system) yang relatif langgeng;
(2) Mereka berpikir dari aspek keamanan batiniah dan kurang berani mengambil resiko untuk menganut sesuatu yang baru (konsep “safety first”) khususnya jika mereka tidak melihat adanya keuntungan relatif (relative advantage, menurut Roger dan Shoemaker, 1071) yang dapat dinikmati secara psikologis dan lahiriyah.
Contoh dari keadaan masyarakat seperti digambarkan di atas dapat dijumpai dalam berbagai media cetak, seperti Koran dan majalah, dan televisi. Mungkin kita masih ingat cerita dalam film layar lebar dengan judul “Naga Bonar Jadi 2” di mana tokoh Naga Bonar mati-matian mempertahankan tanah miliknya yang berharga berupa kebun sawit di dalamnya ada makam isterinya dari gusuran buldoser yang akan dijadikan proyek pembangunan Resort oleh pengusaha Jepang, atas inisiatif anaknya Bonaga. Saking sayangnya Bonaga kepada ayahnya Naga Bonar, pembangunan proyek resort yang sudah disepakati dengan pengusaha Jepang tersebut ia dibatalkan. Dalam hal ini antara Naga Bonar dan pemilik modal orang Jepang serta anaknya Bonaga memiliki kepentingan dan sitem nilai yang berbeda terhadap kebun sawit serata makam isteri Naga bonar.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Resistensi Sosial
Program pembaharuan berencana yang ditujukan untuk merubah perilaku masyarakat adalah upaya yang sengaja dilakukan guna meningkatkan serangkaian keadaan melalui kegiatan intervensi dengan bantuan pengantar pembaharuan dari luar sistem sosial masyarakat (outsider change agent) (Lippitt, et al.,1958). Cara tersebut berbeda dengan perubahan spontan sebagai akibat wajar dari adanya situasi baru yang mempengaruhi langsung kehidupan masyarakat secara umum (Gifft, Washbon dan Harrison, 1972).
Terdapat delapan faktor yang menjadi penyebab terjadinya resistensi sosial dalam masyarakat terhadap program perubahan berencana. Oleh Lippitt (1969) faktor-faktor tersebut dirinci sebagai berikut :
1) Jika tujuan program pembaharuan itu tidak diinformasikan dengan cukup jelas dan dimengerti oleh masyarakat.
2) Jika tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat, baik formal maupun non formal tidak diikut sertakan dalam tahap perencanaan (persiapan) program.
3) Jika usul program perubahan berencana didasarkan kepada kepentingan (alasan) pribadi seorang atau beberapa orang semata-amat.
4) Jika norma-norma budaya, pranata sosial dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat diabaikan.
5) Jika terdapat komunikasi yang kurang baik antara pengelola program dengan masyarakat yang berkenaan dengan perubahan itu.
6) Jika terdapat kekhawatiran akan kegagalan dalam pelaksanaan program, baik pada pengelola program maupun dalam masyarakat.
7) Jika biaya perubahan itu dirasakan terlalu mahal, atau imbalan yang diperoleh masyarakat dari perubahan tersebut kurang memadai.
8) JIka keadaan sekarang dirasakan telah memuaskan bagi sebagaian besar masyarakat.
Apakah seorang perencana program perubahan berencana lalu akan membatalkan/ mengurungkan niatnya setelah tahu betapa banyaknya kendala dalam sistem sosial masyarakat yang bakal dijumpai ?. Mungkin ia tidak perlu berbuat demikian selama tujuan program itu ditinjau dari sudut manapun benar-benar akan member manfaat kepada masyarakat secara menyeluruh.
Pendekatan Untuk Mengatasi Resistensi Sosial
Kegiatan pembangunan dalam berbagai bidang hendaknya dipandang sebagai proses penyadaran, yaitu suatu proses untuk membuka (menumbuhkan) dan mengembangkan kekuatan-kekuatan kreatif pelaku-pelaku sosial dalam masyarakat luas dan suatu proses untuk membebaskan lebih banyak upaya dan kegiatan masyarakat guna mengatasi maslah-masalah yang mereka hadapi (Hall, 1977). Pada hakekatnya dalam masyarakat telah terjadi juga kegiatan tertentu yang ditujukan kepada pencapaian penghidupan yang lebih baik. (Logar, 1978).
Pendekatan tatap guna umumnya digunakan untuk sedikit demi sedikit mengurangi dan menghilangkan resistnsi sosial. Dengan cara demikian perencana dan pengelola program dapat sekaligus menangkap umpan balik (feedback) dari msyarakat yang seringkali merupakan ungkapan kebutuhan dan perasaan yang selama ini terpendam. Pendekatan ini lebih tepat dilakukan dengan tokoh-tokoh masyarakat, baik yang berasal dari kalangan alim ulama, pemangku adat maupun pejabat formal. Dalam proses pendekatan ini perlu dipertimbangkan pernyataan yang dikemukakan oleh Freire (1970) yaitu bahwa dalam menghadapi sistem sosial masyarakat jangan kita berpendapat seolah-olah masyarakat tidak tahu apapun mengenai sesuatu hal yang berkenaan dengan subyek yang akan dirubah. Contoh mengenai dalam bisang kesehatan misalnya ditemukan adanya kebiasaan masyarakat di suatu desa di Kabupaten Bogor memberikan (meneteskan) sari hati kambing yang dibakar pada mata anak balita yang menderita “sisikan” (bercak Bitot). Keadaan ini menandakan bahwa dalam sistem sosial masyarakat terjadi pula proses belajar walaupun tanpa ada pendidikan apapun, dan kemampuan belajar dalam masyarakat memang ada.
Implikasi dalam Progaram Keluarga Harapan (PKH).
Program Keluarga Harapan merupakan program bantuan tunai bersyarat bagi keluarga sangat miskin (KSM). Sasaran PKH adalah ibu hamil, anak balita, anak usia sekolah 6/sd 12 tahun, dan anak disabilitas. Dengan demikian PKH diprogramkan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan pendidikan KSM. Adanya resistensi sosial dalam pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) baik di bidang kesehatan maupun pendidikan masih sering ditemukan dalam masyarakat pedesaan. Adanya kendala ini bukannya tanpa sebab. Memperkenalkan cara-cara pemeliharaan anak balita melalui pemberian makanan yang memenuhi syarat-syarat gizi hendaknya dipandang sebagai suatu proses untuk merangsang tumbuh dan berkembangnya proses belajar dalam diri pelaku-pelaku sosial dalam masyarakat, khususnya pada ibu-ibu, agar apa yang telah mereka ketahui melalui proses belajar dalam keluarga dapat ditingkatkan.
Konsep mengenai ketidak-tahuan (ignorancy) hendaknya dipandang sebagai kurang-tahu (menurut kesehatan baku gizi), agar tingkat pengetahuan masyarakat tentang makanan yang bergizi (walaupun pengetahuan itu masih rendah) tetap dapat dihargai dan dihormati. Dengan pendekatan demikian warga masyarakat di pedesaan akan merasa diperlakukan sama dan tidak terpisahkan dari warga di kota yang relatif lebih maju. Konsep saling asih dan asuh sudah waktunya pula diamalkan dalam program keluarga harapan (PKH).
DAFTAR PUSTAKA:
1. Susanto Djoko, Dr. Mengapa Masyakat Tidak Mudah Diajak Untuk Berubah.
2. Freire, P. 1970. Pedagogy of the opperessed. The Seabury Press New York, p. 57-74.
3. Lippitt, R., Watson and B. Westley. 1958. Motivation of the client system. In W.B. Spalding ed. The Dynamics of planned change A comparative study of principles and techniques.
4. Logan, J. 1978. Growth, politic and stratification of place. Am. J. cf Soc. 84:2.
5. Rogers, E.M. and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of innovation A cross cultural approach. The Free Press A Div. Of MacMillan Publ. Co. Inc., New York 2nd ed., p. 98-172.
*) Penulis adalah Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Kementerian Sosial RI dan alumnus IPB.